Monday, November 01, 2004

Memahami Vs Dipahami

Menjadi manusia memang tidak gampang. Utamanya ketika harus berinteraksi dengan manusia lain. Tapi itu sudah takdir, bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Aku tak akan ada di bumi ini tanpa ada ibuku. Ibuku tak akan pernah melahirkanku jika tidak ada nenekku. dan seterusnya. Itu baru dalam satu garis peran. Bagaimana dengan peran ayahku? Kakekku?

Kembali pada persoalan di atas; tak gampang menjadi manusia. Untuk memahami manusia lain kadang menjadi kesulitan yang menyiksa. Memahami orang lain seringkali harus memotong tipis ujung kepentingan pribadi yang kita miliki. 'Memahami' dan 'dipahami' seperti serangkai kata yang tak mudah untuk disodorkan pada setiap orang.

Aku selalu berharap orang lain memahami semua daya pikirku, semua sepak terjangku, semua keinginanku, dan segala kepentingan yang berasal dariku. Sementara orang lain berharap sebaliknya kepadaku. Inilah benturan kepentingan pemahaman yang bersumber pada ke-egoan manusia. Tapi sayangnya, semua itu manusiawi. Dan segala hal yang sudah masuk kantong 'kemanusiawian' mau tak mau harus di terima, harus dipahami!

Seperti beberapa tahun lalu, ketika aku mencoba mengetuk pintu hati management di kantorku untuk meninjau kembali upah yang aku terima, konfrontasi antara memahami dan dipahami mengambil peran penting di sini. Aku berharap management 'memahami' kebutuhanku, tanggung jawabku, record kerjaku dan seterusnya dan seterusnya. Sementara perusahaanku --melalui management tentunya-- memintaku 'memahami' kondisi perusahaan yang tengah 'survive' menopang sekian pengeluaran dengan kondisi yang pas-pasan. Intinya aku harus memahami kondisi perusahaanku. Setuju! Akhirnya kita saling memahami bahwa 'kita harus saling mengerti'.

Konfrontasi memahami dan dipahami tak berhenti sampai di situ. Ketika tahun berjalan dan kondisi berada pada masa yang lebih baik, 'memahami dan dipahami' harus dibicarakan lagi sampai menemukan titik pemahaman setara. Pemahaman yang tidak saling merugikan. Pemahaman dimana perusahaan melakukan upaya yang membuatku merasa dipahami kepentingan dan kebutuhannya.

Tidak gampang menjadi manusia, tidak gampang menjadi pegawai, tidak gampang menjadi perusahaan dan seterusnya. Apakah bisa disimpulkan bahwa tidak gampang menjadi apapun? Aku tak tahu. Menurutku, memahami dan dipahami itu seperti 'kesabaran'; Sama-sama memiliki batas. Walaupun batas itu ralatif dan sedemikian abstrak, tetap saja mempunyai batas.

Yang sedikit merisaukan adalah memahami sesuatu yang tidak mau memahami. Ini sering terjadi pada komunitas yang mempunyai multi kepentingan pemahaman yang kompleks. Misalnya antara pegawai dan management, antara anak buah dan atasan, dan sebagainya. Sementara kandungan pemahaman dalam satu keluarga terasa --kalau boleh aku katakan-- lebih mudah dipahami karena tidak ada unsur "jual-beli" seperti dalam sebuah komunitas usaha.

Catatan:
Aku sedang tidak meremehkan 'pemahaman' dalam sebuah keluarga.