Saturday, December 03, 2005

Mengeluh Pada Malam

Kalau waktu istirahatku 2 tahun ini makin memburuk, aku maklum. Ada satu sisi --menurutku-- dimana tidur bukan lagi menjadi ujung kesibukan setiap hari. Tidur, saat ini, bagiku hanya satu rutinitas yang membuatku malas saat terbangun.

Aku lebih memikirkan malam. Apa yang ada di kepalaku sungguh sedang tidak ingin mengkaitkan antara malam dengan tidur. Malam ya malam, tidur ya tidur. Seperti ketika kita membicarakan mata dan hati, laki-laki dan perempuan, hidup dan mati atau yang lain. (tulisan blm selesai...)

Tuesday, April 26, 2005

Tentang Angka dan Hari

Aku memandang kalender yang berada di atas mejaku. Satu persatu angka dan hari aku pelototi sampai mataku berair. Pikiranku masih berkecamuk mempersoalkan bagaimana orang mulai berpikiran untuk menemukan angka, bagaimana orang mempunyai ide untuk menyusun angka bahwa setelah satu adalah dua, setelah lima adalah enam dan seterusnya. Gila betul! Orang jenius atau orang sok tahukah yang bisa membuat urutan senin, selasa sampai minggu dan kemudian digunakan oleh manusia di seluruh dunia. Tak kalah heran, bagaimana dia bisa menemukan kata s.e.n.i.n dan seterusnya? Kenapa angka dua tidak bisa kita sebut angka delapan? Kenapa setelah Rabu selalu Kamis, tidak bisakah kita mengubahnya menjadi Minggu?

Apa yang akan terjadi jika ada sebuah perombakan besar-besaran di dunia yang mengizinkan orang untuk merubah urutan angka sesuai keinginannya, ditambah kebebasan meletakkan hari minggu di urutan hari. Aku tertawa dalam hati. Pasti berantakan seluruh permukaan bumi.

Bayangkan saja, orang berdesakan mencari nomor tempat duduknya di sebuah bis antar kota yang –oleh perusahaan bus tersebut—dipasang tidak berurutan. Belum lagi seorang direktur terbengong-bengong di kantornya karena dia sendirian di sana di hari Senin --yang oleh pegawainya diganti hari Minggu. Lebih besar lagi, bom nuklir meledak di sebuah benua, karena pengatur waktunya diset untuk meledak di angka 0 pada hari Sabtu. Sedangkan waktu penghitung mundurnya oleh pembuatnya sudah diset dari 30, 5, 0 dan Senin, Rabu, Sabtu. Luar biasa!

Saking takutnya membayangkan hal yang lebih hebat bisa terjadi, kusudahi saja tulisan ini. Kuputar balik logikaku untuk ‘menyeimbangkan’ pikiran kritis-gilaku tentang merubah urutan angka dan urutan hari. Aku acungkan jempol untuk manusia yang telah ‘mendefinisikan’ dua hal dari milyaran hal besar lain. Kugeleng-gelengkan kepala. Kagum.

Monday, November 01, 2004

Memahami Vs Dipahami

Menjadi manusia memang tidak gampang. Utamanya ketika harus berinteraksi dengan manusia lain. Tapi itu sudah takdir, bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Aku tak akan ada di bumi ini tanpa ada ibuku. Ibuku tak akan pernah melahirkanku jika tidak ada nenekku. dan seterusnya. Itu baru dalam satu garis peran. Bagaimana dengan peran ayahku? Kakekku?

Kembali pada persoalan di atas; tak gampang menjadi manusia. Untuk memahami manusia lain kadang menjadi kesulitan yang menyiksa. Memahami orang lain seringkali harus memotong tipis ujung kepentingan pribadi yang kita miliki. 'Memahami' dan 'dipahami' seperti serangkai kata yang tak mudah untuk disodorkan pada setiap orang.

Aku selalu berharap orang lain memahami semua daya pikirku, semua sepak terjangku, semua keinginanku, dan segala kepentingan yang berasal dariku. Sementara orang lain berharap sebaliknya kepadaku. Inilah benturan kepentingan pemahaman yang bersumber pada ke-egoan manusia. Tapi sayangnya, semua itu manusiawi. Dan segala hal yang sudah masuk kantong 'kemanusiawian' mau tak mau harus di terima, harus dipahami!

Seperti beberapa tahun lalu, ketika aku mencoba mengetuk pintu hati management di kantorku untuk meninjau kembali upah yang aku terima, konfrontasi antara memahami dan dipahami mengambil peran penting di sini. Aku berharap management 'memahami' kebutuhanku, tanggung jawabku, record kerjaku dan seterusnya dan seterusnya. Sementara perusahaanku --melalui management tentunya-- memintaku 'memahami' kondisi perusahaan yang tengah 'survive' menopang sekian pengeluaran dengan kondisi yang pas-pasan. Intinya aku harus memahami kondisi perusahaanku. Setuju! Akhirnya kita saling memahami bahwa 'kita harus saling mengerti'.

Konfrontasi memahami dan dipahami tak berhenti sampai di situ. Ketika tahun berjalan dan kondisi berada pada masa yang lebih baik, 'memahami dan dipahami' harus dibicarakan lagi sampai menemukan titik pemahaman setara. Pemahaman yang tidak saling merugikan. Pemahaman dimana perusahaan melakukan upaya yang membuatku merasa dipahami kepentingan dan kebutuhannya.

Tidak gampang menjadi manusia, tidak gampang menjadi pegawai, tidak gampang menjadi perusahaan dan seterusnya. Apakah bisa disimpulkan bahwa tidak gampang menjadi apapun? Aku tak tahu. Menurutku, memahami dan dipahami itu seperti 'kesabaran'; Sama-sama memiliki batas. Walaupun batas itu ralatif dan sedemikian abstrak, tetap saja mempunyai batas.

Yang sedikit merisaukan adalah memahami sesuatu yang tidak mau memahami. Ini sering terjadi pada komunitas yang mempunyai multi kepentingan pemahaman yang kompleks. Misalnya antara pegawai dan management, antara anak buah dan atasan, dan sebagainya. Sementara kandungan pemahaman dalam satu keluarga terasa --kalau boleh aku katakan-- lebih mudah dipahami karena tidak ada unsur "jual-beli" seperti dalam sebuah komunitas usaha.

Catatan:
Aku sedang tidak meremehkan 'pemahaman' dalam sebuah keluarga.